Melihat anak-anak di era digital ini asyik memainkan gawai bukanlah pemandangan aneh. Banyak orangtua yang sejak dini memperkenalkan gawai untuk merangsang kecerdasan anak-anaknya.

Penelitian yang pernah dilakukan mahasiswa psikologi Universitas Indonesia, yang melihat preferensi orangtua memilih alat permainan tahun 2012 di area Jakarta, ternyata sebagian orangtua memberikan gawai pada buah hatinya karena menginginkan anaknya pintar.

“Gadget dijadikan pilihan pertama, disusul lego, balok-balok kontruktif, puzzle dan sebagainya. Mainan seperti boneka handuk yang lembut yang membantu mengatasi kecemasan anak, justru tidak favorit dan menjadi pilihan terakhir orangtua,” ujar psikolog Astrid WEN dalam acara diskusi yang digelar oleh Asuransi JAGADIRI di Jakarta (24/11/2016).

Tak dipungkiri memang ada berbagai aplikasi permainan yang ditujukan untuk anak usia dini. Aplikasi yang diklaim edukatif tersebut antara lain mengajarkan anak mengenal huruf, berhitung, atau memainkan permainan sederhana.

Meski begitu, jangan biarkan anak usia dini terlalu akrab dengan gawainya karena mereka memerlukan pengalaman langsung yang riil.

"Anak butuh menyentuh, merasakan tekstur, berinteraksi dengan orang di sekitarnya, serta mengeksplorasi lingkungannya," paparnya.

Astrid menambahkan, orangtua tidak perlu memperkenalkan secara khusus gawai kepada anak. "Dengan melihat orangtuanya asyik dengan gawainya, mereka pasti tertarik mencoba," katanya.

Gawai juga menjadi status sosial bagi orangtua, sehingga banyak juga yang sengaja memberikan gawai pada anak. Mereka pun akan merasa bangga jika anak tampak fasih mengoperasikan gawai.

Padahal, sebenarnya orangtua tak perlu bangga kalau anaknya yang masih balita sudah pintar main gawai. "Wajar anak-anak usia dua tahun sudah bisa. Mereka lahir di dunia digital, sejak lahir saja sudah diajak selfie," kata psikolog yang menjadi inisiator Theraplay Indonesia ini.

Bahaya dari gawai, sebenarnya adalah pada kontennya dan lama bermainnya. “Anak-anak yang main gadget secara intens berjam-jam umumnya tidak memperhatikan orang lain di sekitarnya, padahal ini sangat penting untuk perkembangannya,” ujar Astrid.

Kerugian lain dengan bermain gawai tanpa terkontrol adalah waktu istirahat anak berkurang yang berdampak untuk perkembangan fisik, dan menurunkan kesempatan anak mengembangkan kemampaun berpikir. “Pada akhirnya anak tidak tumbuh menjadi orang-orang yang dapat merefleksikan dan mengekspresikan diri,” ucapnya.(*)

Jangan Bangga Balita Anda Pintar Main Gadget, Ini Bahayanya



Melihat anak-anak di era digital ini asyik memainkan gawai bukanlah pemandangan aneh. Banyak orangtua yang sejak dini memperkenalkan gawai untuk merangsang kecerdasan anak-anaknya.

Penelitian yang pernah dilakukan mahasiswa psikologi Universitas Indonesia, yang melihat preferensi orangtua memilih alat permainan tahun 2012 di area Jakarta, ternyata sebagian orangtua memberikan gawai pada buah hatinya karena menginginkan anaknya pintar.

“Gadget dijadikan pilihan pertama, disusul lego, balok-balok kontruktif, puzzle dan sebagainya. Mainan seperti boneka handuk yang lembut yang membantu mengatasi kecemasan anak, justru tidak favorit dan menjadi pilihan terakhir orangtua,” ujar psikolog Astrid WEN dalam acara diskusi yang digelar oleh Asuransi JAGADIRI di Jakarta (24/11/2016).

Tak dipungkiri memang ada berbagai aplikasi permainan yang ditujukan untuk anak usia dini. Aplikasi yang diklaim edukatif tersebut antara lain mengajarkan anak mengenal huruf, berhitung, atau memainkan permainan sederhana.

Meski begitu, jangan biarkan anak usia dini terlalu akrab dengan gawainya karena mereka memerlukan pengalaman langsung yang riil.

"Anak butuh menyentuh, merasakan tekstur, berinteraksi dengan orang di sekitarnya, serta mengeksplorasi lingkungannya," paparnya.

Astrid menambahkan, orangtua tidak perlu memperkenalkan secara khusus gawai kepada anak. "Dengan melihat orangtuanya asyik dengan gawainya, mereka pasti tertarik mencoba," katanya.

Gawai juga menjadi status sosial bagi orangtua, sehingga banyak juga yang sengaja memberikan gawai pada anak. Mereka pun akan merasa bangga jika anak tampak fasih mengoperasikan gawai.

Padahal, sebenarnya orangtua tak perlu bangga kalau anaknya yang masih balita sudah pintar main gawai. "Wajar anak-anak usia dua tahun sudah bisa. Mereka lahir di dunia digital, sejak lahir saja sudah diajak selfie," kata psikolog yang menjadi inisiator Theraplay Indonesia ini.

Bahaya dari gawai, sebenarnya adalah pada kontennya dan lama bermainnya. “Anak-anak yang main gadget secara intens berjam-jam umumnya tidak memperhatikan orang lain di sekitarnya, padahal ini sangat penting untuk perkembangannya,” ujar Astrid.

Kerugian lain dengan bermain gawai tanpa terkontrol adalah waktu istirahat anak berkurang yang berdampak untuk perkembangan fisik, dan menurunkan kesempatan anak mengembangkan kemampaun berpikir. “Pada akhirnya anak tidak tumbuh menjadi orang-orang yang dapat merefleksikan dan mengekspresikan diri,” ucapnya.(*)

No comments:

Post a Comment